Beranda | Artikel
Berguru Kepada Nabi Ibrahim dan Keluarganya
Senin, 17 Oktober 2022

Oleh: Abdullah Zaen, Lc, MA

Khutbah Idhul Adha di Alun-alun Banyumas,Ahad, 10 Dzulhijjah 1435 /5 Oktober 2014

 

[arabic-font]السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

الحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ رَبِّ الأَرَضِيْنَ وَالسَّمَاوَات، الْحَمْدُ للهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَات، وَبِعَفْوِهِ تُغْفَرُ الذُّنُوْبُ وَالسَّيِّئَات، وَبِكَرَمِهِ تُقبَلُ الْعَطَايَا وَالْقُرُبَات، وَبِلُطْفِهِ تُسْتَرُ العُيُوْبُ وَالزَّلاَّت، الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَمَاتَ وَأَحْيَا، وَمَنَعَ وَأَعْطَى، وَأَرْشَدَ وَهَدَى، وَأَضْحَكَ وَأَبْكَى؛ ﴿ وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا ﴾ (الإسراء: 111)

اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا ذَكَرَ اللهَ ذَاكِرٌ وَكَبَّرَ، اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا حَمِدَ اللهَ حَامِدٌ وَشَكَرَ، اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا تَابَ تَائِبٌ وَاسْتَغْفَرَ، اللهُ أَكْبَرُ مَا أَعَادَ عَلَيْنَا مِنْ عَوَائِدِ فَضْلِهِ وَجُوْدِهِ مَا يَعُوْدُ فِي كُلِّ عِيْدٍ وَيَظْهَر.

وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً أَدَّخِرُهَا لِيَوْمٍ كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْراً، سُبْحَانَ مَنْ لَمْ يَزَلْ عَلِيًّا كَبِيْرًا، سَمِيْعاً بَصِيْراً، لَطِيْفاً خَبِيْراً، عَفُوًّا غَفُوْرًا.

وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّداُ عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ بَعَثَهُ باِلْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ بَشِيْراً وَنَذِيْراً وَدَاعِياً إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا، اللّهُمَّ صَلِّ عَلىَ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ وَخَلِيْلِكَ مُحَمَّدٍ بْنِ عَبْدِ الله، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَن اقْتَفَى أَثَرَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَة.

أَمَّا بَعْدُ؛[/arabic-font]

Jamaah Shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah…

Di pagi yang penuh berkah ini, di balik hati yang cerah ceria, kita kembali mengumandangkan takbir berulang-ulang, sebagai pernyataan yang tulus dan ikhlas akan kebesaran dan keagungan Allah subhanahu wa ta’ala. Sekaligus sebagai pengakuan bahwa kita adalah hamba yang teramat kecil, sangat lemah dan penuh keterbatasan. Kita memuja dan memuji kepada-Nya sebagai wujud kesyukuran atas segala limpahan nikmat dan rahmat-Nya yang tak terhingga.

Alhamdulillah, kita kembali merasakan kegembiraan dan kebahagiaan dalam suasana Idul Adha pada hari ini. Bukan untuk berpesta pora, tetapi untuk melakukan instrospeksi dan mengambil pelajaran dari perintah berkurban dan beribadah haji. Juga untuk mengenang kembali peristiwa bersejarah yang dilakonkan oleh Nabiyullah Ibrahim ’alaihissalam bersama isterinya; Hajar dan anaknya Ismail ’alaihissalam.

Kehidupan Nabi Ibrahim benar-benar sarat dengan keteladanan yang patut diikuti, untuk mendapatkan kehidupan yang bersih dan penuh dengan makna.

[arabic-font]”قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ”[/arabic-font]

Artinya: “Sungguh telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”. QS. Al-Mumtahanah (60): 4.

Jamaah shalat Idul Adha ‘azzakumullah...

Sekurang-kurangnya ada empat pelajaran yang bisa dipetik dari kisah nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan keluarganya[1]:

  • Pelajaran Pertama: Berbaik sangka kepada Allah ta’ala

Dikisahkan pada suatu hari, Ibrahim ‘alaihissalam terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba beliau memerintahkan istrinya, Hajar, untuk mempersiapkan perjalanan dengan membawa bayinya. Perempuan itu segera berkemas untuk melakukan perjalanan panjang. Padahal saat itu nabi Ismail masih bayi dan belum disapih.

Ibrahim ‘alaihissalam menyusuri bumi yang penuh dengan pepohonan dan rerumputan, sampai akhirnya tiba di padang sahara. Beliau terus berjalan hingga mencapai pegunungan, kemudian masuk ke daerah jazirah Arab. Ibrahim menuju ke sebuah lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, tidak ada buah-buahan, tidak ada pepohonan, tidak ada makanan dan tidak ada minuman. Kondisi yang menandakan bahwa tempat itu tidak ada kehidupan di dalamnya.

Di lembah tersebut beliau turun dari punggung hewan tunggangannya, kemudian menurunkan istri dan anaknya. Setelah itu tanpa berkata-kata beliau meninggalkan istri dan anaknya di sana. Mereka berdua hanya dibekali sekantung makanan dan sedikit air yang tidak cukup untuk dua hari. Setelah melihat kiri dan kanan beliau melangkah meninggalkan tempat itu.

Tentu saja Hajar terperangah diperlakukan demikian. Dia membuntuti suaminya dari belakang sembari bertanya,

[arabic-font]”يَا إِبْرَاهِيْمَ أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهذَا الْوَادِي الَّذِى لَيْسَ بِهِ أَنِيْسٌ وَلاَ شَيْئٌ ؟”[/arabic-font]

“Ibrahim, hendak pergi ke manakah engkau? Apakah engkau akan meninggalkan kami tanpa teman di lembah yang tidak ada sesuatu apapun ini?”.

Ibrahim tidak menjawab pertanyaan istrinya. Beliau terus saja berjalan. Hajar kembali mengulangi pertanyaannya, tetapi Ibrahim tetap membisu. Akhirnya Hajar paham bahwa suaminya pergi bukan karena kemauannya sendiri. Dia mengerti bahwa Allah memerintahkan suaminya untuk pergi. Maka kemudian dia pun bertanya,

[arabic-font]”آللهُ أَمَرَكَ بِهذَا ؟”[/arabic-font]

“Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk pergi meninggalkan kami?”

Ibrahim menjawab, “Benar“.

Kemudian istri yang shalihah dan beriman itu berkata,

[arabic-font]”إِذًا لَا يُضَيِّعُنَا اللهُ!”[/arabic-font]

”Jika demikian pasti Allah tidak akan menterlantarkan kami”.

Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.

Jamaah Shalat Idul Adha rahimakumullah.

Lihatlah, bagaimana nabi Ibrahim dan Hajar, mampu berprasangka baik kepada Allah jalla wa ‘ala. Mereka amat yakin bahwa selagi bersama Allah, maka mereka tidak mungkin terlantar, tidak akan ada yang dapat mencelakainya ataupun melukainya.

Bila kita lihat banyaknya manusia yang frustasi dalam kehidupan ini atau banyaknya manusia sengsara, ternyata bukan karena sedikitnya nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Akan tetapi karena sedikitnya husnudzon (berbaik sangka) kepada kebaikan Allah. Padahal nikmat yang Allah berikan jauh lebih banyak dari siksa-Nya. Oleh karena itu kita harus berbaik sangka kepada Allah; karena Allah menjelaskan dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Dia sesuai prasangka hamba-Nya.

[arabic-font]عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: “أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً”[/arabic-font]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, Allah berfirman, “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam jiwanya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di keramaian orang, niscaya Aku akan mengingat-Nya di hadapan sekumpulan makhluk yang lebih mulia dari mereka. Andaikan ia mendekat kepada-ku setapak, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan menghampirinya dengan berlari”. HR. Bukhari dan Muslim.

Manusia wajib berbaik sangka kepada Allah apa pun keadaannya. Karena Allah akan menyikapi hamba-Nya sesuai prasangka tersebut. Jika hamba itu berprasangka baik, maka Allah akan memberikan keputusan yang baik untuknya. Namun bila hamba itu berburuk sangka, maka berarti ia telah menghendaki keputusan yang buruk dari Allah untuknya. Allah tidak akan menyia-nyiakan harapan hamba-Nya yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya.

Seorang hamba yang bijak adalah yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan. Jika ia diberi kenikmatan, ia merasa bahwa hal ini adalah karunia dari Allah. Ia tidak besar kepala dengan kenikmatan duniawi tersebut. Sebaliknya bila ia didera dengan penderitaan atau kekurangan, maka ia merasa bahwa Allah sedang mengujinya agar dapat meraih tempat yang mulia. Ia tidak berburuk sangka dengan menganggap Allah tidak adil atau Allah telah menghinakannya.

Kita harus belajar dari Hajar. Seorang wanita yang baru mempunyai anak bayi, kemudian ditinggalkan suaminya di padang pasir yang gersang. Tetapi dia yakin jika ini adalah perintah Allah, maka Allah tidak akan menterlantarkannya. Allah pasti akan membantunya. Kisah ini bukan hanya untuk Hajar saja, dan kisah ini juga bukan untuk zaman itu saja. Namun kisah ini akan terus berulang pada setiap zaman dan masa. Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya dalam segala kondisi.

Yakinlah bahwa orang-orang yang tekun beribadah kepada Allah, berakidah benar, menegakkan shalat, berpuasa, menunaikan zakat dan menjalankan perintah agama lainnya, pasti mereka tidak akan pernah diterlantarkan oleh Allah ta’ala…

Allahu Akbar 2x, walillahilhamdu.

  • Pelajaran kedua: Bersemangat dalam mencari rezeki yang halal

Setelah Ibrahim ‘alaihissalam meninggalkan istri dan anaknya, untuk kembali meneruskan perjuangan berdakwah di jalan Allah. Hajar menyusui Ismail, sementara dia sendiri mulai merasa kehausan. Panas terik matahari saat itu amat menyengat, hingga terasa begitu mengeringkan kerongkongan. Setelah dua hari, air yang dibawa habis, air susunya pun kering. Hajar dan Ismail mulai kehausan. Pada waktu yang bersamaan, makanan pun habis. Kegelisahan dan kekhawatiran menghantui Hajar.

Ismail mulai menangis karena kehausan. Sang ibu pun meninggalkannya sendirian untuk mencari air. Dengan berlari–lari kecil dia sampai di kaki bukit Shafa. Kemudian mendaki bukit itu. Diletakkannya kedua telapak tangan di kening untuk melindungi pandangan matanya dari terik sinar matahari. Dia menengok kesana kemari, mencari sumur, manusia, kafilah atau berita. Namun tidak ada sesuatu pun yang tertangkap pandangan matanya. Maka dia bergegas turun dari bukit Shafa dan berlari–lari kecil sampai di bukit Marwa. Dia naik ke atas bukit itu, barangkali dari sana dia melihat seseorang. Tetapi tidak membuahkan hasil.

Hajar turun dari bukit Marwa untuk menengok bayinya. Dia mendapati Ismail terus menangis. Tampaknya sang bayi benar-benar kehausan. Melihat anaknya seperti itu, dengan bingung dia kembali ke bukit Shafa dan mendaki ke atasnya. Kemudian ke bukit Marwa dan naik ke atasnya. Hajar bolak–balik antara dua bukit, Shafa dan Marwa, sebanyak tujuh kali.

Allahu Akbar 3x, walillahilhamdu.

Hadirin dan hadirat yang kami hormati.

Ada sebuah pelajaran penting yang jarang dikupas dari kejadian ini.

Yaitu kesungguhan Hajar dalam mencari air. Ia kerahkan segala tenaganya bolak balik dari Shafa dan Marwa. Dia terus berusaha. Walaupun akhirnya air itu ternyata ada di dekat anaknya sendiri. Ini memberikan pelajaran kepada kita untuk bersungguh-sungguh dalam menjemput rezeki, dengan mengerahkan segenap kemampuan yang kita miliki. Karena sejatinya kita diperintahkan bukan cuma melihat hasil, tapi juga memaksimalkan usaha dan tenaga.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam amat menghargai orang-orang yang bekerja keras. Beliau bersabda,

[arabic-font]”لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ”[/arabic-font]

“Seorang yang mencari seikat kayu bakar dan mengusungnya di atas pundak, lebih mulia dibanding orang yang meminta-minta kepada orang lain, entah ia diberi atau tidak”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Beliau juga menerangkan,

[arabic-font]”مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ”[/arabic-font]

“Tidak ada makanan yang lebih baik daripada apa yang dimakan seseorang dari hasil jerih payahnya sendiri. Dan Nabi Dawud ‘alaihissalam itu makan dari hasil jerih payahnya sendiri.” HR. Bukhari dari al-Miqdam radhiyallahu’anhu.

Namun, walaupun kita dituntut untuk berusaha dan bekerja secara maksimal, bukan berarti bahwa kita diperbolehkan untuk berbuat sebebas-bebasnya. Sehingga tidak lagi memperhatikan batasan halal dan haram. Berhati-hatilah terhadap barang haram yang masuk ke tubuh kita. Karena tubuh yang tumbuh dari harta yang haram, tidak ada tempat kembali untuknya melainkan neraka. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

[arabic-font]”لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ أَبَدًا، النَّارُ أَوْلَى بِه”.[/arabic-font]

“Tidak akan masuk surga selamanya, daging yang tumbuh dari harta yang haram. Nerakalah yang pantas untuk menjadi tempat tinggalnya”. HR. Tirmidzy dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ’anhu dan dinilai sahih oleh adz-Dzahaby dan al-Albany.

Makanan haram bukan hanya daging babi, namun daging sapi pun bisa berubah menjadi haram, apabila dibeli dengan uang hasil korupsi. Minuman haram tidak hanya whisky, namun wedang kopi pun bisa menjadi haram, apabila dibeli dengan uang hasil kolusi. Maka waspadalah!

Hadirin yang dirahmati Allah…

  • Pelajaran ketiga: Berkorban untuk Allah ta’ala

Ketika Ismail bertambah besar, hati Ibrahim ‘alaihissalam tertambat kuat kepada putranya. Tidak mengherankan karena Ismail hadir di kala usia Nabi Ibrahim semakin senja. Itulah sebabnya beliau sangat mencintainya. Namun Allah berkehendak untuk menguji Nabi-Nya dengan ujian yang amat berat.

[arabic-font]”فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ . قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ . سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ”[/arabic-font]

Artinya: “Tatkala anak itu telah dewasa, (Ibrahim) berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka apa pendapatmu tentang mimpiku itu?!”. Ia menjawab: “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. QS. Ash Shâffât (37): 102.

Renungkanlah bentuk ujian yang telah Allah berikan kepada beliau. Bagaimana kira-kira perasaan Ibrahim ‘alaihissalam pada saat itu? Pergulatan seperti apa yang berkecamuk di dalam batinnya?

Saat itu Ibrahim berpikir tentang putranya. Apa yang harus beliau katakan, saat beliau hendak membaringkannya di atas tanah untuk disembelih?

Ibrahim mengambil jalan yang paling baik, yaitu berkata dengan jujur dan lemah lembut kepada putranya. Ketimbang menyembelihnya secara paksa.

Lihatlah kepasrahan dan pengorbanan Ismail beserta ayahnya Ibrahim. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang-Nya. Walaupun dengan mengorbankan anak tersayang.

Allahu Akbar 2x, walillahilhamdu.

Kaum muslimin dan muslimat yang dimuliakan Allah.

Sadarkah kita, bahwa saat ini kita sedang diajari oleh seorang anak dan ayahnya, tentang makna pengorbanan kepada Allah, dalam segala hal di kehidupan ini?

Kata kurban dalam bahasa Arab berarti mendekatkan diri. Dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah udh-hiyah. Sebagian ulama mengistilahkannya an-nahr sebagaimana yang dimaksud dalam QS Al-Kautsar (108): 2,

[arabic-font]”فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ”[/arabic-font]

Artinya: “Dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah“

Akan tetapi, pengertian kurban bukan sekadar menyembelih binatang kurban, lalu menyedekahkan dagingnya kepada fakir miskin. Akan tetapi, secara umum, makna korban meliputi aspek yang lebih luas.

Dalam konteks sejarah, di mana umat Islam menghadapi berbagai cobaan, makna pengorbanan amat luas dan mendalam. Sejarah para nabi, misalnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam dan para sahabat yang berjuang menegakkan Islam di muka bumi ini memerlukan pengorbanan. Sikap Nabi dan para sahabat itu ternyata harus dibayar dengan pengorbanan yang teramat berat yang diderita oleh Umat Islam saat itu. Mereka disiksa, ditindas, dan sederet tindakan keji lainnya dari kaum kafir Quraisy.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pernah dilempari dengan batu oleh penduduk Thaif. Abu Lahab dan Abu Jahal memperlakukan beliau dengan kasar dan kejam. Para sahabat seperti Bilal ditindih dengan batu besar yang panas di tengah sengatan terik matahari siang. Yasir dibantai dan seorang ibu yang bernama Sumayyah, ditusuk kemaluannya dengan sebatang tombak.

Tak hanya itu, umat Islam di Mekah juga diboikot untuk tidak mengadakan transaksi dagang. Akibatnya, betapa lapar dan menderitanya keluarga Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam saat itu. Hingga beliau sekeluarga terpaksa memakan kulit kayu, daun-daun kering bahkan kulit-kulit sepatu bekas.

Begitulah potret pengorbanan untuk membela agama. Lantas apakah yang sudah kita korbankan untuk membela akidah dan sunnah Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam?

Allahu Akbar 3x, walillahilhamdu.

Jamaah Shalat Idul Adha rahimakumullah.

  • Pelajaran keempat: Urgensi mendidik keluarga

Nabi Ismail ‘alaihissalam tidak akan menjadi anak yang penyabar, jika tidak mendapat taufik dari Allah ta’ala kemudian pendidikan dari ibunya. Dan Hajar tidak akan menjadi seorang yang penyabar bila tidak diberi petunjuk oleh Allah lalu dididik oleh nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam. Sedang nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak akan dapat sabar jika tidak ditempa oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui wahyu-Nya.

Keberhasilan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di dalam mendidik anaknya, bukanlah pekerjaan ringan, yang bisa didapatkan dalam waktu yang singkat. Hal itu merupakan pekerjaan berat yang membutuhkan waktu panjang. Nabi Ibrahim secara terus menerus memberikan contoh peragaan ketaatan seorang hamba kepada Rabbnya dalam segala hal. Peragaan inilah yang selalu ditangkap dan dihayati oleh putranya Ismail, sehingga terpatri dalam jiwanya.

Sekarang mari kita tanya diri kita. Sudahkah kita memberi keteladanan yang baik kepada putra putri kita? Sudahkah kita mendoakan mereka dalam sujud kita agar menjadi anak-anak yang salih dan salihah? Sudahkah kita menyelamatkan mereka dari lingkungan yang rusak?

Memang untuk mendapatkan generasi ideal, memerlukan perhatian dan pengorbanan yang sangat besar. Bahkan harus diiringi dengan kesabaran dan keikhlasan yang tinggi. Makanya sangat aneh, jika kita merindukan lahirnya generasi pejuang, sementara perhatian dan pengorbanan yang diberikan untuk itu masih sangat kurang. Atau mungkin pengorbanan dan perhatian sudah cukup besar, tapi belum proporsional. Perhatian dan pengorbanan yang diberikan lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat materi, bukan pada spirit dan rohaninya.

Anak-anak kita perlu mendapatkan perhatian yang serius dari kita para orang tua, guru dan pemerintah. Jangan sampai hanya aspek intelektualnya yang diperhatikan, tetapi mental dan spritualnya memprihatinkan. Jangan kita bangga dengan pendidikan yang hanya memacu kecerdasan otak, tapi semakin hari akhlaknya semakin rusak dan perilakunya semakin jauh dari agama.

Kita sangat mendambakan generasi yang bertauhid dan berkarakter. Berakhlak mulia dan tekun beribadah. Juga anak yang patuh dan hormat kepada orang tua. Kita mengharapkan generasi yang selalu siap pakai. Siap menghadapi benturan dan tantangan hidup. Memiliki etos kerja yang tinggi, bekerja dengan penuh dedikasi, memiliki banyak inisiatif serta siap berkorban. Sebagaimana contoh yang telah diperagakan oleh sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga keluarganya, Hajar dan Ismail ‘alaihissalam.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala berkenan untuk merealisasikan cita-cita mulia tersebut. Untuk itu marilah kita berdo’a:

[arabic-font] الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ.

اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللهم بارك على سيدنا محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.

اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، اللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا.

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا، وَوُلاَةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَوَفِّقْهُمْ جَمِيْعًا لِتَحْكِيْمِ شَرِيْعَتِكَ، وَالْعَمَلِ بِكِتَابِكَ، وَالالْتِزَامِ بِسُنَّةِ نَبِيِّكَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اللهم بِعزَّتِكَ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالُمسْلمِينَ، وأذِلَّ الشِّركَ والمشركين.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّا مِنَ الْخَاسِرِيْنَ.

اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا دُعَائَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاتُهُ[/arabic-font]

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 9 Dzulhijjah 1435 /4 Oktober 2014

[1] Kisah mereka selengkapnya bisa dibaca, antara lain, dalam kitab Qashash al-Anbiyâ’ karya Imam Ibn Katsir (hal. 127-183).

Download Versi Ms. Word (Download Kotbah Idul Adha)


Artikel asli: https://tunasilmu.com/berguru-kepada-nabi-ibrahim-dan-keluarganya/